LEBIH DEKAT DENGAN TURUNAN GULO

Mengenal  Lebih Dekat  TURUNAN GULO
Calon Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI  Periode 2014-2019

Turunan Gulo telah mencatat sejarah baru  dalam hidupnya.   Mundur sebagai komisioner di Komisi Pemilihan Umum (KPU) Sumatera Utara pada 1 April 2013, lalu mendeklarasikan dirinya sebagai calon Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI pada Pemilu 2014 yang akan datang.  Ia akan bertanding bersama tokoh-tokoh lainnya untuk memperebutkan 1 dari 4 kursi senator yang tersedia untuk Provinsi Sumatera Utara.  Ia resmi mendaftarkan dirinya di Kantor KPU Sumut pada 18 April 2013, dengan menyerahkan dukungan sekitar 17 ribu orang, terbanyak di antara bakal calon lainnya.

Baginya, mundur dari lembaga yang telah membesarkan namanya itu adalah sebuah langkah yang  normal dan wajar saja.  Pertama, bahwa berdasarkan kalender pemilu, April 2013 adalah jadwal pencalonan, sementara masa tugasnya berakhir pada September  2013.   Bila menunggu berakhir masa tugas, maka kesempatan menjadi calon akan hilang.  Kedua, pengabdian 10 tahun sebagai penyelenggara pemilu, dinilainya sudah cukup.  “Sepuluh tahun mengantar orang ke kursi dewan dan kepala daerah,  kini giliran saya untuk diantarkan.  Saya tidak mungkin terus-menerus sebagai pekerja teknis, meski jabatan sebagai seorang komisioner termasuk prestisius dan diincar orang.  Saya juga punya cita-cita untuk  terlibat langsung dalam proses pengambilan keputusan atau kebijakan publik,” ujarnya.

Keberaniannya mendaftar sebagai calon DPD RI tentu punya alasan tersendiri.  “Saya ini tidak bekerja dari nol.  Saya sudah punya modal.  Tinggal dikembangkan saja dengan kerja keras diiringi dengan  doa,” katanya.   Menurutnya, untuk dapat memenangkan pertarungan,  maka seseorang  harus memiliki dua syarat, yakni lumbung utama suara dan jejaring yang luas.   Ia mengaku, bahwa lumbung utama suaranya adalah tanah kelahirannya, Nias.  Potensi pemilih Nias pada Pemilu 2014 sekitar 600 ribu suara.  Dia tidak mematok angka yang terlalu muluk-muluk.  “Kalau boleh mendapatkan sekitar 250 ribu suara saja dari sana sudah hebat.  Sisanya akan digarap di luar kepulauan Nias,” katanya.  Bagaimana caranya?  Ia meyakini, bahwa jejaring yang sudah terbentuk selama 8 tahun berkecimpung  di dunia organisasi nonpemerintah (ornop) atau lebih dikenal LSM (lembaga swadaya masyarakat),  maupun selama 10 tahun di lembaga penyelenggara pemilu, akan efektif menyumbangkan  suara agar bisa masuk rangking 4 besar.  “Target minimal suara yang harus dikumpul sekitar 450 ribu.  Saya optimis, bahkan di atas angka tersebut.   Banyak pemilih yang bisa digarap di luar komunitas Nias.  Jejaring  yang ada telah dan terus bekerja sampai dengan hari H.  Simpatik  pemilih yang rasional juga bisa digerakkan untuk memilih saya,”   ujarnya.  Sebagai catatan, bahwa pada Pemilu 2009 yang lalu, kursi keempat sekitar 312.000 suara.  Diprediksinya, suara yang harus diraih untuk bisa masuk empat besar sekitar 450.000 suara. 

Sepertinya, kalkulasi politiknya, bukan sesuatu yang tidak berdasar.  Berdasarkan hasil riset  awal yang dilakukan pada 13-15 April 2013 lalu,  dengan 1.135 sampel, tingkat popularitasnya sudah mencapai 17,79% dengan keterpilihannya mencapai 11,45%.  Angka ini tidak terlalu jauh di bawah angka yang diraih oleh Anggota DPD RI yang sekarang menjabat.   Bahkan melebihi salah seorang kandidat incumbent.   “Padahal saya belum melakukan sosialisasi yang masif dan intensif.  Ini artinya, saya punya peluang  lebih besar lagi, kalau kerja-kerja sosialisasi diintensifkan  beberapa  ke depannya,” ungkapnya.

Untuk memenangkan pertarungan, ia tidak mengandalkan uang yang banyak.   Selain memang tidak punya logistik yang banyak, ia ingin tampil sebagai politisi dengan  pengeluaran minimal.  Prinsip ini penting, katanya, agar nantinya bisa tampil sebagai senator yang lebih leluasa bekerja untuk rakyat.  Menyiasati anggaran yang terbatas, maka ia akan bergerilya di daerah-daerah.   Turun langsung ke lapangan.  Termasuk membangun kolaborasi dengan politisi yang sudah lama dikenalnya,  yang  tersebar di berbagai parpol dan daerah pemilihan di seluruh kabupaten/kota di Sumatera Utara.  Strategi itu itu  dimungkinkan karena dia sudah lama membangun hubungan baik dengan beberapa politisi serta beberapa eksekutif. Di samping itu, “Saya ini masih muda, jadi bisa mampu bergerak ke daerah-daerah di Sumut,” jelasnya.

Terlatih untuk Peduli
Jadi pejabat dulu baru peduli? Atau karena mau jadi caleg, baru peduli?  Tampaknya itu tidak berlaku bagi Turunan Gulo.  Kepedulian kepada rakyat sudah terlatih sejak lama, ketika masih berstatus sebagai mahasiswa.  Dari kegiatan yang relatif “ringan” sampai yang paling berisiko.  Pernah melakukan pendampingan anak jalanan di Medan, meneriakkan berbagai kasus pencemaran atau kerusakan lingkungan, mendampingi petani yang kehilangan tanahnya, berjuang bersama buruh yang menuntut hak-haknya. 

Ia juga tercatat sebagai pelaku sejarah gerakan reformasi pada masa Orde Baru.  Kerap melakukan perlawanan terhadap sistem dan praktik politik yang tidak demokratis, yang membelenggu kemerdekaan memilih, berpendapat, berorganisasi dan berkumpul.  Pada 1996, ketika digelar Kongres Luar Biasa (KLB) PDI yang bertujuan menumbangkan Megawati Soekarnoputri sebagai Ketua Umumnya, ia bergabung dengan aktivis prodemokrasi  untuk menentang rekayasa rezim Orde Baru itu, dengan melakukan serangkaian aksi-aksi serta menulis artikel di media massa.  Ia memang bukan anggota PDI pimpinan Megawati, tapi dia punya alasan yang sangat kuat ketika melakukan perlawanan itu.  “Ada keyakinan yang amat-sangat di kalangan aktivis prodemokrasi, bahwa Megawati yang ketika itu disimbolkan sebagai pemimpin wong cilik  merupakan korban rezim Orde Baru yang  militeristik  dan antidemokrasi.  Jadi, gerakan  yang dibangun semacam kolaborasi  politik untuk menyebarluaskan perlawanan  rakyat  terhadap  rezim yang otoriter,“ urainya.   

Selain itu, pada tahun yang sama, ketika situasi politik yang masih penuh tekanan, ia  bersama  aktivis prodemokrasi di Sumut mendirikan Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) di Sumut,  yang berujung pada pembakaran Kantor LBH Medan di mana KIPP tersebut didirikan.  Ia juga aktif dalam arak-arakan gerakan reformasi sepanjang tahun 1997-1998 yang kemudian berhasil menumbangkan Soeharto pada Mei 1998.

Pascatumbangnya Soeharto, ia sebenarnya berpeluang besar menjadi anggota legislatif pada Pemilu 1999.  Tapi, ia justru memilih melanjutkan perjuangan di luar sistem.  “Saya hanya ingin memberi  pembelajaran, bahwa perjuangan itu bukan sekadar rebut-merebut kekuasaan atau  memanfaatkan  peluang.  Ada banyak agenda reformasi yang mesti dikawal dari luar.  Jangan semua masuk ke dalam sistem.  Perlu bagi-bagi tugas.  Ada waktu yang pas buat saya untuk terjun di wilayah politik formal.  Menjadi wakil rakyat tidak boleh asal-asalan, seharusnya matang dengan pengalaman dan kemampuan,”  ujarnya.   

Karena prinsip  tersebut, maka ia bersama puluhan aktivis prodemokrasi di Sumut membentuk Aliansi Gerakan Rakyat Sumatera Utara (AGRESU), yang fokus pada pendidikan politik dan penguatan organisasi rakyat di Sumatera Utara.   Lewat AGRESU, lahir  beberapa organisasi rakyat,  seperti Gerakan Rakyat untuk Reformasi Agraria (Gerag) yang memperjuangkan tanah-tanah rakyat; lahir Keluarga Besar Supir/Pemilik Angkutan Umum pro Reformasi (Kesper) yang memperjuangkan aspirasi para supir angkutan umum di Kota Medan, serta Iklim (Ikatan Pedagang Kaki Lima) yang memperjuangkan hak-hak para pedagang kaki lima di Kota Medan.   

Menjelang Pemilu 1999, ia fokus pada kegiatan pendidikan pemilih, yakni sebuah usaha untuk mencerdaskan rakyat agar lebih siap dan cerdas untuk memilih.   Setelah Pemilu 1999 berhasil melahirkan anggota legislatif, ia bersama rekan-rekannya, membentuk sebuah lembaga pengawasan  parlemen (Institute for Parliament Watch/IPW).

Roh gerakan reformasi juga ditularkan di tanah kelahirannya, Nias, dengan membentuk wadah gerakan bernama Forum Aksi Reformasi Mahasiswa  Nias (FARMAN) pada tahun 1998.    Pada akhir 1998, bersama sejumlah aktivis prodemokrasi yang ada di Medan dan Nias, mendirikan Lembaga Pencerahan dan Advokasi Masyarakat  Nias (LPAM Nias), yang fokus pada pendidikan politik  serta pembelaan/pendampingan masyarakat.  Bersama jaringan aktivis prodemokrasi di Kepulauan Nias, LPAM Nias mengambil bagian dalam menyuarakan berbagai isu-isu  KKN, pelanggaran hak asasi manusia (HAM), isu perampasan tanah rakyat, kasus perusakan hutan oleh PT GRUTI dan PT Teluk Nauli dan lain sebagainya.  Saat banjir bandang menerjang Kepulauan Nias pada 2001 lalu,, LPAM Nias juga terlibat aktif untuk menyalurkan bantuan kepada korban.  Demikian juga pascagempa-tsunami pada 2005 lalu, bersama mitranya, LPAM Nias juga terlibat aktif untuk menyalurkan bantuan sembako, bahkan ikut membangun sekitar 125 unit rumah bagi korban bencana serta  5 unit sekolah, lalu melakukan serangkaian kegiatan pengembangan ekonomi kerakyatan.

Berbagai aktivitas sosial-politik yang dilakoninya pada masa Orde Baru itu harus dibayar dengan berbagai pengorbanan. Kuliahnya terbengkalai  selama 4 tahun.  Pernah ditangkap.  Juga pernah diburon selama dua bulan usai meletusnya Tragedi Kerusuhan 27 Juli 1996 di Jakarta.  Lebih dari itu  ia pernah dicap sebagai antek-PKI.  Ia sama sekali tidak menyesal.  “Itu vitamin yang sangat berkhasiat menambah daya tahan hidup,” katanya.

Memahami Pentingnya Pengembangan Kemampuan
Baginya, nyali dan kepedulian saja tidak cukup.  Oleh karena itu, dia berusaha mengembangkan kapasitasnya dengan berbagai pendidikan dan pelatihan, baik formal maupun informal.  “Aktivis itu tidak sekadar jago teriak-teriak.  Aktivis juga tidak mesti miskin,” katanya.  Dia terinspirasi dengan sejumlah aktivis, semisal Alm. Soe Hok Gie atau  Arief Budiman, yang selain turun ke jalan, juga unggul dalam nilai-nilai intelektualitas.   Meski terlambat, tapi gelar sarjana berhasil diraihnya dari Universitas HKBP Nommensen pada akhir 1997.   Ia juga berkesempatan  menyelesaikan strata dua di Magister Studi Pembangunan Universitas Sumatera Utara pada 2008.  Selain pendidikan formal, ia rajin mengikuti diskusi, seminar, pelatihan, kursus, lokakarya, studi lapangan, dan lain sebagainya.  Tujuannya: mengembangkan wawasan, ilmu pengetahuan, keahlian dan keterampilan.  

Pada masanya, ia dikenal sebagai seorang aktivis yang, selain rajin turun ke jalan, juga mampu menulis artikel/opini di berbagai media massa serta mampu berdebat dengan para pengambil keputusan.   Sebagai pengakuan bahwa ia memiliki kapasitas, maka  tidak jarang yang bersangkutan diundang sebagai fasilitator atau narasumber dalam berbagai pertemuan, diskusi, pelatihan, lokakarya, seminar.  Bahkan dalam satu kesempatan pra-Consultative Group on Indonesia (CGI) Meeting yang diselenggarakan oleh Bank Dunia dan Pemerintah Indonesia, pada 2001 di Jakarta, ia pernah didaulat menjadi juru bicara organisasi masyarakat sipil (OMS) di Indonesia.  Tugasnya: merumuskan dan menyampaikan secara langsung sikap OMS tentang permasalahan utang luar negeri yang melilit Indonesia  kepada sejumlah menteri serta puluhan utusan negara kreditur/donor. 

Berbekal pengalaman dan kemampuan yang dimilikinya itulah  yang membuat  dia berani melamar sebagai salah seorang komisioner  Komisi Pemilihan Umum Provinsi (KPU) Provinsi Sumaera Utara pada 2003, meski persaingan ketika itu sangat ketat.  “Saya sadar benar, bahwa saya dari suku minoritas di Sumut, hanya sarjana strata satu.  Saingan saya banyak dan  orang-orang hebat semua,” ujarnya.  Ternyata Tuhan yang Maha Baik berpihak untuknya:  ia lolos, bahkan terpilih lagi untuk periode kedua. 

Nasionalis dan Berkarakter
Turunan Gulo ditempah sebagai seorang yang nasionalis dan terbuka.  Sejak kecil hingga dewasa, sudah terbiasa bergaul dengan orang dari berbagai suku, ras, agama berbeda.   “Keragaman itu indah,” ujarnya.  Maka, ia membuka diri untuk  bersahabat dengan siapa saja. 

Ia juga dikenal ramah dengan semangat pelayanan tinggi selama menjadi Komisioner KPU Sumut.  “Tidak  jarang, ada orang yang konsultasi tengah malam, kita layani juga sepanjang HP masih aktif dan belum istrahat.  Orang yang tidak memperkenalkan namanya atau tidak dikenal pun tapi butuh penjelasan, baik ketemu langsung, lewat telefon atau SMS, sebisa-bisanya saya respons,” tuturnya.  Ia orang yang amat menyadari bahwa pemimpin itu seharusnya rendah hati dan melayani.  Ternyata, sifat ini  efektif  membangun simpatik dari berbagai kalangan.   Tidak heran, ketika dia mendeklarasikan diri sebagai calon DPD, banyak pihak memberikan dukungan kepadanya.  Ini pula yang membuat dia berani bertanding pada Pemilu 2014 ini.   Ia amat yakin, bahwa pemilihnya bukan hanya dari komunitas Nias saja, tapi dari berbagai etnis dan kelompok.    

Ramah bukan berarti lembek.  Ini sikap unik yang dimilikinya.  Dalam menjalankan tugas serta ketika mengambil sebuah keputusan, ia dikenal tegas dan berani.  Teror, ancaman, intimidasi sudah sering dihadapinya.  Tapi, ia tetap maju dengan prinsip dan keyakinannya.  Dia juga bukan peragu ketika harus mengambil keputusan yang dilematis.  “Apapun keputusan tidak akan memuaskan semua pihak.  Tapi seorang pemimpin itu harus berani mengambil keputusan, dengan risiko apapun.  Masalahnya, setiap keputusan sebaiknya punya pijakan hukumnya, kita meyakininya,  sehingga bisa dipertanggungjawabkan,” tegasnya.  Tampaknya, karakater dasar inilah yang membuatnya mampu bertahan dan sukses menjalankan tugas sebagai komisioner KPU Sumut selama 10 tahun. 

Jaringan dan Kepemimpinan
Jejaring serta kepempimpinan adalah modal lain yang mesti dimiliki oleh seorang politisi.  Tentu kita tidak meragukan lagi, ia sudah cukup terlatih dalam hal tersebut.  Sejak mahasiswa sudah aktif di berbagai organisasi, baik dalam kampus seperti Badan Perwakilan Mahasiswa Fakultas maupun Senat Mahasiswa Universitas.  Ia juga tercatat sebagai anggota Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) Medan dan aktif selama 6 tahun di Kelompok Studi Mahasiswa Merdeka (KSMM).   Ia juga berpengalaman  memimpin sejumlah organisasi, di antara sebagai Presidium Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Sumut, Presidium AGRESU, Ketua Badan Pengurus LPAM Nias, Ketua Majelis Wilayah Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) Sumut, Ketua DPD Himpunan Masyarakat Nias Indonesia (HIMNI) Sumut dan Sekretaris Jenderal Pengurus Pusat Ikatan Alumni Universitas HKBP Nommensen.

Ia menyadari, meski jauh dari sempurna, tapi diyakininya bahwa karakter, kemampuan dan pengalaman yang dimilikinya bisa menjadi modal agar tampil sebagai senator yang handal: gigih, bernyali, peduli tapi “berisi”.

Profil versi lainnya dapat di baca di: www.thepoliticanews.com/news/turunan-gulo-jalan-panjang-menuju-senator-biodata (sebanyak 6 tulisan)




0 komentar: